Sunday, 16 August 2015

cinta,berjuang, dan ikhlas




Taukah kamu hal yang paling menyesakkan.? Ketika kamu tahu kamu tak mungkin memilikinya tapi kamu tak bisa berhenti untuk mencintainya. "Tuhan, jika cintaku padanya terlarang, mengapa kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku," rasanya kutipan novel rahvayana, sujiwo tedjo sangat mewakili hatiku.
Siang itu matahari bersinar cerah, teramat cerah malahan, gumpalan awan bergerak dalam gerombolan-gerombolan kecil sekali-kali menutup matahari, teriknya sinar matahari membakar Yogyakarta, malioboro seperti biasa penuh sesak, suara pedagang terdengar riuh rendah bersahut-sahutan dengan deru mesin kendaraan yang berlalu lalang, becak berderet-deret di pinggiran jalan segaris lurus dengan andong, di beberapa titik terlihat ankringan dengan jajanan khasnya sego kucing dan para musisi jalanan mulai beraksi.
Ceplak-ceplek suara sandal jepitku beradu dengan aspal jalanan seakan berdendang lagu sedih dan semua yang kulihatpun seakan berwarna hitam putih ah benar kata orang-orang suasana hati akan menentukan segalanya, pikiranku melayang jauh kesana, Dhina semestinya kau tahu tak akan ada hati lain yang akan mencintaimu setulus hatiku ini dalam mencintaimu, ya kau sahabatku, sahabat terbaikku, dan aku mencintaimu. Ceplak-ceplek terus kulangkahkan kakiku menyusuri pinggiran jalan malioboro yang semakin buram dimataku.
“Dwi…iii “ ah itu pasti suara pakdeku suaranya sangat khas serak, berat, dan logat jawanya yang sangat ketal.
“bentar pakde tak beli sego kucing dulu, kangen aku sama sego kucing” sambil ku percepat langkahku. Setelah selesai, langsung kuhampiri pakdeku yang duduk santai di atas andong.
“De, jangan panggil namaku dwi lho, aku gak suka de” kataku lagi,sambil ku pasang ekpresi sebal.
“sudah cepet sini naik, sudah pakde sewakan andong khusus untukmu” khusus untukku ah mana ada, memang dasarnya pakde aja yang fanatik sama adong,dasar kuno pikirku.
“Iya de, makasih”  demi kesopanan aku jawab seperti itu.
“le, kamu tahu kenapa kamu diberi nama dwi,?” ah mulai lagi ceramahanya
“ya karna aku anak kedua de” jawabku ketus supaya, pakde berhenti ceramahnya, tapi tampaknya gagal.
“bukan itu le, kamu itu diberi nama dwi bukan hanya karna anak kedua tetapi juga dwi atau dua, semua yang ada di dunia ini harus terdiri dari dua hal, supaya seimbang, ada jahat ada baik, ada bodoh ada pintar, ad…”
“iya de, iya de aku sudah bosan dengar kata-kata itu” dengan nada yang kasar ku sela omongan pakdeku, sambil ku lirik wajah pakdeku senyuman penuh pengertian masih tetap terukir di wajahnya yang sudah penuh keriput termakan usianya yang semakin senja, ada sedikit perasaan menyesal bagaimanapun pakdeku ini adalah salah satu orang yang paling kusanyangi.
“le tadi kok gak minta jemput di stasiun tuga saja kan lebih dekat to”
“iya de, aku mau jalan-jalan dulu, entahlah jogja, malioboro disetiap sudutnya selalu menumbuhkan kerinduan de”
“ada masalah apa le, ayo cerita sama pakde?” sorot matanya  menatapku dengan tajam seakan menembus hatiku, aku tak berani kembali menatap matanya, dengan menunduk kugelengkan kepalaku
“gak ada apa-apa kok de” sahutku lirih
“sudah gak usah bohong sama pakde, kamu itu le seperti buku yang terbuka lebar, sangat mudah membaca kamu”
“iya de” sahutku semakin lirih, begitu mudahnya pakde ku  melihat isi hatiku, tapi kamu,  dengan cinta dan kasih sayangku yang begitu besar kamu masih tak mampu merasakannya atau mungkin pura-pura tak merasakannya.
“le, kamu tahu hakikat cinta yang sejati itu melepaskan, perhatikan kata-kata pakdemu ini le, barang siapa yang mengikhlaskan suatu saat ia akan mendapatkannya, kalaupun tidak ia akan mendapatkan yang lebih baik dari apa yang dulu ia ikhlaskan” aku mengangguk-angguk dengan takzim tuhkan pakdeku tahu lagi apa masalah ku, walaupun kali ini sedikit sok tahu.
“iya de, eh de aku di jogja Cuma tiga hari de bulan depan aku berangkat ke malaysia mewakili sekolahan ku untuk lomba panahan” kataku untuk mengalihkan pembicaraan.
“gak masalah kita habiskan tiga hari itu dengan keliling jogja, jogja itu terlalu istimewa untuk dibatasi waktu, nanti pakde ceritakan waktu pakde masih muda dulu, supaya kamu semangat pas lomba”
“Siap de” jawabku pura-pura antusias, pakde ku memang veteran kemerdekaan katanya dulu ikut serangan umum 11 maret ya walaupun aku yakin pakde ku cuma tentara yang pakatnya paling rendah.
Keesok harinya…
Matahari sudah bersinar terang sesekali tertutup awan-awan kecil yang melintas dibawahnya, angin berhembus pelan menggoyang pucuk pohon yang seakan ikut bergoyang menikmati dendang musik alam, burung-burung bersiul saling sahut menyahut berebut betinanya. Ah alam dapatkah aku menikmati hidup seperti dirimu menikmati waktumu?...
“le udah bangun? nanti malam kita ke tugu jogja ya, hari ini kamu istirahat dulu aja, pakde mau kesawah dulu ” terdengar suara pakde dari luar kamarku dengan sedikit menjerit, dipikirnya aku belum bangun, iya sih kalau secara harfiah aku belum bangun masih luntang-luntung klesat-klesut di atas kasur, tapikan aku sudah bangun dari tidur, sudah sadar
“ iya pakde” jawabku gak kalah kuat.
Apa kabarmu disana sahabatku tercinta, yang ku cintai lebih dari cinta terhadap sahabat, tetapi cinta seorang laki-laki terhadap perempuan yang di
harapkan menjadi pasangan hidupnya, kamu tahu setiap handphone ku ada notifikasi masuk entah itu sms, wa, bbm ataupun line aku selalu berharap itu dari kamu, duh pagi-pagi kok sudah mikirin kamu terus sih, kayaknya benar kata orang-orang, orang yang kamu cintai adalah orang yang paling sering kamu pikirkan disaat kamu mau tidur dan disaat kamu bangun tidur
Waktu terus berjalan aku hanya tidur makan tidur hingga malampun tiba, ya waktu tetap berjalan apapun yang kamu lakukan.
Tok tok tok “gimana le sudah siap, ayo berangkat”
“siap de,bentar” akupun bergegas keluar dari kamar menghampiri pakde yang wow kulihat dari atas kepala sampai kaki kembali ke atas kepala lagi sampai kepalaku ikut turun naik, rambut belah pinggir, baju safari berkantong dua di depan dada, celana kain hitam, sepatu pantofel. Kali ini pakdeku tampil sangat berbeda.
“ada apa to le ? pakde mu ini dulu punya cita-cita sebagai guru, bagi pakde guru itu lebih dari sekedar profesi, guru itu sebuah pengabdian, mengabdi kepada Tuhan, mengabdi kepada Negara, dan yang paling penting le mengabdi kepada masyarakat. Pakde menemukan kebahagian jika melihat anak-anak Indonesia cerdas le, kita ini bangsa besar le tapi mental kita, mental rakyat Indonesia masih mental kacung le, hanya dengan pendidikan yang bisa merubah bangsa kita tidak lagi menjadi bangsa yang minder le,” diam sejenak “kamu mau kuliah dijurusan keguruan to le” sambil menepuk-nepuk bahuku, suarnaya terdengar bergetar penuh emosi
“kamu tahu le, kunci orang untuk menikmati hidup adalah mencintai pekerjaannya, kalau kamu sudah mencintai pekerjaanmu kamu tidak akan merasakan lagi yang namanya bekerja, ya yang kamu rasakan adalah rekreasi, inget pesenku le walapun kamu hanya menjadi mahasiswa lakukanlah seperti Leonardo da vinci melukis, Beethoven bermusik dan Michelangelo mengukir patung” wah tampaknya pakdeku ini semakin akademis saja.
“ siap, perintah siap dilaksanakan de.” dengan tangan ku letakan diatas keningku membentuk hormat militer, ya walapun dengan sedikit cengengesan sih.
“ayo de segera berangkat keburu malam.”  kalau enggak segera berangkat bisa-bisa ceramah sampai pagi ini.
Beberapa menit kemudian setelah sampai di tugu jogja
Pakdeku melangkah  mendekat dan menyentuh tugu jogja dengan tangannya
“le tugu jogja yang kamu lihat sekarang ini berbeda dengan tugu jogja saat pertama kali dibuat, saat pertama kali dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, bentuknya berbentuk silindris dan puncaknya berbentuk bulat sehingga namanya waktu itu le tugu golog gilig” pakdeku kembali berjalan mengelilinya, aku mengikuti dibelakangnya
“tugu golong gilig  dibuat seperti itu le untuk menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan, tapi sayangnya le kurang lebih seratus tahun kemudian tugu golong giling runtuh karena gempa” pakdeku menghela nafas, dan matanya tampak berbinar-binar air mata.
“beberapa tahun kemudian tugu jogja ini dibangun lagi  oleh londo le, tapi dibuat berbeda di bagian atasanya tak lagi berbentuk bulat tapi berbentuk keruncut, dan diberi nama De White Paal atau Tugu Pal Putih, perubahan bentuk bangunan Tugu saat itu le, sebenarnya merupakan taktik licik londo untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, tapi mereka tidak pernah tahu le, yang membuat rakyat jogja bersatu dengan raja bukan hanya karna tugu ini le, tapi disini le” pakde menunjuk dadanya
“ di hati ini le, mereka londo-londo itu le tidak akan pernah tau le, karna mereka tidak punya hati le”
“de, ayo ke angkringan itu de, ceritanya lanjut distu aja, capek berdiri terus” aku langsung berjalan ke angkringan ku tinggal pakdeku yang sepertinya masih bernostalgia dengan sejarah tugu jogja.
“pak es teh, pak niki seng sambel teri seng pundi nggeh.?”
“niku mas seng karete abang” langsung kucomot dua sego kucing menu favoritku sambel teri.
“pak kopi jos setunggal” pakdeku memesan minumnya dan langsung mengambil dua sego kucing juga tapi kami beda selera pakdeku memilih kering tempe.
Kami berdua duduk lesehan di pinggir jalan ditemani semilir angin malam jogja yang merindukan dan  kelap-kelip lampu toko-toko, kendaraan yang semakin ramai dibandingkan aku berkunjung dulu, semoga saja jogja tidak menjadi kota metropolitan.
“le kamu mau cerita masalahmu enggak?” dengan wajah penuh pengertian pakde memulai percakapan
Aku hanya berani menggelang tak berani manatap wajahnya
“yaudah kalu gak mau gak papa, kamu itu sudah tak anggep anak sendiri le kalau ada masalah apa saja cerita sama pakde gak papa.”
“iya de” aku hanya mampu berkata itu, itupun dengan lirih.
“kalau gitu pakde mau cerita bagaimana pakde dapat memperistri mbokde mu dulu, rasanya pakde belum percaya le pakde bisa memperistri wanita secantik mbokdemu dulu” wajah pakde tampak berbinar-binar tampak jelas pancaran cinta dari sorot mata pakde.
Sesekali pakde susrup kopi josnya, dan melanjutkan ceritanya
            “dulu le dimasyarkat kita, dengan siapa kita menikah itu yang menentukan keluarga besar kita begitu pula dengan pakdemu dulu menikah dengan mbokdemu itu dijodohkan le, waktu itu pakde juga sudah punya kekasih, tetangga sebelah sulastri namanya, ya seperti anak muda sekarang, pakde dan sulastri sudah berjanji untuk selalu bersama, kami berdua sering mencuri-curi waktu untuk bisa berduaan sampai akhirnya pakde disidang keluarga besar kita, disuruh memilih keluarga dan menikah dengan mbokdemu itu atau menikah dengan sulastri tapi tidak dianggak sebagai keluarga besar kita” pakde kembali mensrusup kopinya.
            “terus gimana de, pakde milih siapa” sahutku tak sabar
            “akhirnya pakde memilih keluarga le, pakde mau menikah dengan mbokdemu, pada saat itu rasanya hati pakde hancur le, bagaimana mungkin pakde bisa hidup sedangkan cinta pakde kepada sulastri itu sehidup semati le, seminggu kemudian pakde menikah dengan mbokdemu dengan hati yang berantakan” pakde menghela nafas seakan menghirup semua kenangan pada masa itu.
“kenapa pakde enggak melawan de” kataku kurang setuju
            “nanti kalu kamu sudah tua kamu akan tau arti sebuah keluarga le, setelah pakde menikah, pakde sering menyakiti hati mbokdemu le, tapi mbokdemu sangat sabar, tiap malam pakde pergi pulangnya pagi, mbokdemu sangat sabar mengahadapi pakdemu ini le, sampe lama-lama hati pakde mulai luluh dan sedikit demi sedikit sudah mulai ada benih-benih cinta di hati pakde sampai puncaknya waktu pakde sakit seminggu lebih pakde hanya bisa tiduran di ranjang semua kebutuhan pakdemu dilayani mbokdemu, padahal saat itu tiap berapa jam pakde muntah-muntah dengan telanten mbokdemu membersihan mutahan pakde, mulai saat itulah pakde menjadi sangat mencintai mbokdemu le”
            “eh pakde terus sulastri gimana de.?” Entahlah tiba-tiba aku penasaran dengan sulastri.
            “sulastri hahaha setahun setelah pernikahan pakde dia juga menikah dengan pemuda dari desa sebelah, itupun menikahnya karna hamil duluan le”
pakde kembali menghembuskan nafasnya tiba-tiba wajahnya menjadi sedih
            “pakde masih ingat le saat itu tanggal 19 desember 1948, mbokdemu izin mau kepasar, beberapa saat kemudian suara gemuruh seperti gempa bumi, ledakan bom susul menyusul, suara letusan peluru membabi buta tak berhenti aku berlari kalang kabut mencari mbokdemu, tapi mbokdemu ah tergeletak di pinggir jalan bersimbah darah, saat itu le aku menjerit-jerit seperti kesetanan memeluk, mencium mbokdemu yang sudah semakin dingin, hatiku sangat hancur le. Mulai saat itu pakde bergabung menjadi tentara Indonesia menyerahkan segenap hati dan jiwa pakde untuk Indonesia le” mata pakde semakin berlinang air mata.
            “le kamu masih ingat nasihat pakde barang siapa yang mengikhlaskan suatu saat ia akan mendapatkannya, kalaupun tidak ia akan mendapatkan yang lebih baik dari apa yang dulu ia ikhlaskan, kamu harus ingat kalimat ini, walaupun memang benar kamu bisa menentukan siapa yang akan menjadi pacar mu atau istrimu tapi kamu tidak akan bisa menentukan siapa yang kamu cinta, tapi kalu memang orang yang kamu cintai sekarang itu jodohmu cinta akan menemukan jalannya sendiri”
            “de ayo pulang sudah malam” ajakku kepada pakde aku kasihan melihat pakde yang terlihat semakin sedih.
Keesok harinya
            “de aku pamit dulu ya doakan aku menang di perlombaan panahan de”
            “iyo le do’a ku selalu menyertaimu le, hati-hati dijalan” kupeluk pakde sebelum aku memasuki kereta.
Aku pulang dengan semangat baru, dengan pemahaman cinta yang baru dan harapan yang baru.
Tiap hari aku berlatih panahan, sampai-sampai aku dianggap gila latian, ya aku ikhlas karena latihanku ini tidak hanya untuk diriku saja tetapi juga untuk membanggakan Indonesia dimata dunia. Sebenarnya cintaku kepada dhina masih sama cuma kali ini bisa aku arahkan untuk penyemangatku.   
Semakin hari hasil latianku semakin baik, pelatihku,teman-temanku, dan aku semakin optimis pula bisa memenangkan perlombaan itu.
Senin pagi sesudah upacara perpisahan untuk melepas keberangkatan kami yang akan mengikuti lomba.
            “hai dwi…” aku tau itu dhina selain suaranya yang memang sangat akrab di hatiku, orang yang memanggilku dengan nama dwi hanya keluargaku dan dhina.
            “hati-hati dijalan ya semoga menang, jangan lupa oleh-olehnya” katanya sambil menjabat tanganku, sedangkan aku ya seperti biasa masih saja terpukau akan kecantikannya. Ah bagaimana mungkin aku bisa mengikhlaskannya jika setiap ku tatap matanya seakan aku tersedot kedalamnya dan melayang-layang diruang hampa dan selalu saja kembali jatuh cinta kepadanya”
            “iya dhi makasih, kamu baik-baik ya disini” aku tak berani menatap matanya
            “tenang ada pacarku yang jagain aku kok, makanya kamu buruan cari pacar gih, biar ada yang ngerawat kamu, eh sudah dulu ya aku sudah ditunggu pacarku daaa” sambil berlari-lari kecil meninggalkanku,bagaimana mungkin aku cari pacar dhi, kalau hatiku saja kamu bawa pergi
Malam sebelum pertandingan aku sudah berjanji akan bejuang sekuat yang aku bisa bukan hanya untuk diriku tetapi untuk negeriku untuk Negara ku Indonesia
Tring tring… tanda ada pesan masuk dihandphone ku berbunyi ah siapa sih sudah malam-malam mau tidur ganggu aja, tertulis dilayar hpku dhina langsung kukucek-kucek mataku untuk menghilangkan kantuk ada apa nih jarang-jarang dhina sms duluan biasanya juga aku yang sms duluan
            “dwi aku tak tau lagi harus bercerita kepada siapa lagi saat ini hanya dirimu yang ada dipikiranku saat ini, maaf selama ini kalau aku menyakitimu, aku tahu kamu mencintaiku, dan bodohnya aku tak bisa mencintai pria sebaik dirimu, aku selalu  mencintai pria yang salah, seperti yang kali ini dia yang selalu ku banggakan padamu benar-benar membuatku terluka dan aku akan pergi untuk selamanya…bye dwi aku yakin kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku, semoga menang…”
Ada yang hilang dari dalam hatiku
Hampa semua terasa kosong
Tak ada bahagia tak ada kesedihan hambar tanpa rasa
Waktupun berhenti sunyi senyap
Yang ada hanya hitam
Sekalian saja kenapa tak Kau cabut saja nyawaku?
Tak perlu lagikan aku cerikan hasil perlombaan panahanya, sudah jelas, bagaimana aku mungkin bisa memenangkan perlombaanya kalau tubuhku pun rasanya bukan milikku lagi. Selesai perlombaan aku langsung menelepon pakdeku
            “halo dwi ada apa?”
“pakde aku kalah, tidak hanya dalam perlombaanya tapi juga aku belum bisa ikhlas”
Hening….
“tidak le, kamu sudah berjuang, sebaik-baiknya berjuang…”(15.02 Yogyakarta, 02 mei 2015)




0 comments:

Post a Comment