Taukah
kamu hal yang paling menyesakkan.? Ketika kamu tahu kamu tak mungkin
memilikinya tapi kamu tak bisa berhenti untuk mencintainya. "Tuhan, jika
cintaku padanya terlarang, mengapa kau bangun megah perasaan ini dalam
sukmaku," rasanya kutipan novel rahvayana, sujiwo tedjo sangat mewakili
hatiku.
Siang
itu matahari bersinar cerah, teramat cerah malahan, gumpalan awan bergerak dalam
gerombolan-gerombolan kecil sekali-kali menutup matahari, teriknya sinar matahari
membakar Yogyakarta, malioboro seperti biasa penuh sesak, suara pedagang
terdengar riuh rendah bersahut-sahutan dengan deru mesin kendaraan yang berlalu
lalang, becak berderet-deret di pinggiran jalan segaris lurus dengan andong, di
beberapa titik terlihat ankringan dengan jajanan khasnya sego kucing dan para
musisi jalanan mulai beraksi.
Ceplak-ceplek
suara sandal jepitku beradu dengan aspal jalanan seakan berdendang lagu sedih
dan semua yang kulihatpun seakan berwarna hitam putih ah benar kata orang-orang
suasana hati akan menentukan segalanya, pikiranku melayang jauh kesana, Dhina
semestinya kau tahu tak akan ada hati lain yang akan mencintaimu setulus hatiku
ini dalam mencintaimu, ya kau sahabatku, sahabat terbaikku, dan aku
mencintaimu. Ceplak-ceplek terus kulangkahkan kakiku menyusuri pinggiran jalan
malioboro yang semakin buram dimataku.
“Dwi…iii
“ ah itu pasti suara pakdeku suaranya sangat khas serak, berat, dan logat
jawanya yang sangat ketal.
“bentar
pakde tak beli sego kucing dulu, kangen aku sama sego kucing” sambil ku
percepat langkahku. Setelah selesai, langsung kuhampiri pakdeku yang duduk
santai di atas andong.
“De,
jangan panggil namaku dwi lho, aku gak suka de” kataku lagi,sambil ku pasang
ekpresi sebal.
“sudah
cepet sini naik, sudah pakde sewakan andong khusus untukmu” khusus untukku ah
mana ada, memang dasarnya pakde aja yang fanatik sama adong,dasar kuno pikirku.
“Iya
de, makasih” demi kesopanan aku jawab
seperti itu.
“le,
kamu tahu kenapa kamu diberi nama dwi,?” ah mulai lagi ceramahanya
“ya
karna aku anak kedua de” jawabku ketus supaya, pakde berhenti ceramahnya, tapi
tampaknya gagal.
“bukan
itu le, kamu itu diberi nama dwi bukan hanya karna anak kedua tetapi juga dwi
atau dua, semua yang ada di dunia ini harus terdiri dari dua hal, supaya
seimbang, ada jahat ada baik, ada bodoh ada pintar, ad…”
“iya
de, iya de aku sudah bosan dengar kata-kata itu” dengan nada yang kasar ku sela
omongan pakdeku, sambil ku lirik wajah pakdeku senyuman penuh pengertian masih
tetap terukir di wajahnya yang sudah penuh keriput termakan usianya yang
semakin senja, ada sedikit perasaan menyesal bagaimanapun pakdeku ini adalah
salah satu orang yang paling kusanyangi.
“le
tadi kok gak minta jemput di stasiun tuga saja kan lebih dekat to”
“iya
de, aku mau jalan-jalan dulu, entahlah jogja, malioboro disetiap sudutnya
selalu menumbuhkan kerinduan de”
“ada
masalah apa le, ayo cerita sama pakde?” sorot matanya menatapku dengan tajam seakan menembus
hatiku, aku tak berani kembali menatap matanya, dengan menunduk kugelengkan
kepalaku
“gak
ada apa-apa kok de” sahutku lirih
“sudah
gak usah bohong sama pakde, kamu itu le seperti buku yang terbuka lebar, sangat
mudah membaca kamu”
“iya
de” sahutku semakin lirih, begitu mudahnya pakde ku melihat isi hatiku, tapi kamu, dengan cinta dan kasih sayangku yang begitu
besar kamu masih tak mampu merasakannya atau mungkin pura-pura tak
merasakannya.
“le,
kamu tahu hakikat cinta yang sejati itu melepaskan, perhatikan kata-kata
pakdemu ini le, barang siapa yang mengikhlaskan suatu saat ia akan mendapatkannya,
kalaupun tidak ia akan mendapatkan yang lebih baik dari apa yang dulu ia
ikhlaskan” aku mengangguk-angguk dengan takzim tuhkan pakdeku tahu lagi apa
masalah ku, walaupun kali ini sedikit sok tahu.
“iya
de, eh de aku di jogja Cuma tiga hari de bulan depan aku berangkat ke malaysia
mewakili sekolahan ku untuk lomba panahan” kataku untuk mengalihkan pembicaraan.
“gak
masalah kita habiskan tiga hari itu dengan keliling jogja, jogja itu terlalu
istimewa untuk dibatasi waktu, nanti pakde ceritakan waktu pakde masih muda
dulu, supaya kamu semangat pas lomba”
“Siap
de” jawabku pura-pura antusias, pakde ku memang veteran kemerdekaan katanya
dulu ikut serangan umum 11 maret ya walaupun aku yakin pakde ku cuma tentara
yang pakatnya paling rendah.
Keesok
harinya…
Matahari
sudah bersinar terang sesekali tertutup awan-awan kecil yang melintas
dibawahnya, angin berhembus pelan menggoyang pucuk pohon yang seakan ikut
bergoyang menikmati dendang musik alam, burung-burung bersiul saling sahut
menyahut berebut betinanya. Ah alam dapatkah aku menikmati hidup seperti dirimu
menikmati waktumu?...
“le
udah bangun? nanti malam kita ke tugu jogja ya, hari ini kamu istirahat dulu
aja, pakde mau kesawah dulu ” terdengar suara pakde dari luar kamarku dengan
sedikit menjerit, dipikirnya aku belum bangun, iya sih kalau secara harfiah aku
belum bangun masih luntang-luntung klesat-klesut di atas kasur, tapikan aku
sudah bangun dari tidur, sudah sadar
“
iya pakde” jawabku gak kalah kuat.
Apa
kabarmu disana sahabatku tercinta, yang ku cintai lebih dari cinta terhadap
sahabat, tetapi cinta seorang laki-laki terhadap perempuan yang di
harapkan menjadi pasangan hidupnya, kamu tahu setiap handphone ku ada notifikasi masuk entah itu sms, wa, bbm ataupun line aku selalu berharap itu dari kamu, duh pagi-pagi kok sudah mikirin kamu terus sih, kayaknya benar kata orang-orang, orang yang kamu cintai adalah orang yang paling sering kamu pikirkan disaat kamu mau tidur dan disaat kamu bangun tidur
harapkan menjadi pasangan hidupnya, kamu tahu setiap handphone ku ada notifikasi masuk entah itu sms, wa, bbm ataupun line aku selalu berharap itu dari kamu, duh pagi-pagi kok sudah mikirin kamu terus sih, kayaknya benar kata orang-orang, orang yang kamu cintai adalah orang yang paling sering kamu pikirkan disaat kamu mau tidur dan disaat kamu bangun tidur
Waktu
terus berjalan aku hanya tidur makan tidur hingga malampun tiba, ya waktu tetap
berjalan apapun yang kamu lakukan.
Tok
tok tok “gimana le sudah siap, ayo berangkat”
“siap
de,bentar” akupun bergegas keluar dari kamar menghampiri pakde yang wow kulihat
dari atas kepala sampai kaki kembali ke atas kepala lagi sampai kepalaku ikut
turun naik, rambut belah pinggir, baju safari berkantong dua di depan dada,
celana kain hitam, sepatu pantofel. Kali ini pakdeku tampil sangat berbeda.
“ada
apa to le ? pakde mu ini dulu punya cita-cita sebagai guru, bagi pakde guru itu
lebih dari sekedar profesi, guru itu sebuah pengabdian, mengabdi kepada Tuhan, mengabdi
kepada Negara, dan yang paling penting le mengabdi kepada masyarakat. Pakde
menemukan kebahagian jika melihat anak-anak Indonesia cerdas le, kita ini bangsa
besar le tapi mental kita, mental rakyat Indonesia masih mental kacung le,
hanya dengan pendidikan yang bisa merubah bangsa kita tidak lagi menjadi bangsa
yang minder le,” diam sejenak “kamu mau kuliah dijurusan keguruan to le” sambil
menepuk-nepuk bahuku, suarnaya terdengar bergetar penuh emosi
“kamu
tahu le, kunci orang untuk menikmati hidup adalah mencintai pekerjaannya, kalau
kamu sudah mencintai pekerjaanmu kamu tidak akan merasakan lagi yang namanya
bekerja, ya yang kamu rasakan adalah rekreasi, inget pesenku le walapun kamu
hanya menjadi mahasiswa lakukanlah seperti Leonardo da vinci melukis, Beethoven
bermusik dan Michelangelo mengukir patung” wah tampaknya pakdeku ini semakin
akademis saja.
“
siap, perintah siap dilaksanakan de.” dengan tangan ku letakan diatas keningku
membentuk hormat militer, ya walapun dengan sedikit cengengesan sih.
“ayo
de segera berangkat keburu malam.” kalau
enggak segera berangkat bisa-bisa ceramah sampai pagi ini.
Beberapa
menit kemudian setelah sampai di tugu jogja
Pakdeku
melangkah mendekat dan menyentuh tugu
jogja dengan tangannya
“le
tugu jogja yang kamu lihat sekarang ini berbeda dengan tugu jogja saat pertama
kali dibuat, saat pertama kali dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I,
bentuknya berbentuk silindris dan puncaknya berbentuk bulat sehingga namanya
waktu itu le tugu golog gilig” pakdeku kembali berjalan mengelilinya, aku
mengikuti dibelakangnya
“tugu
golong gilig dibuat seperti itu le untuk
menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan
penguasa untuk melawan penjajahan, tapi sayangnya le kurang lebih seratus tahun
kemudian tugu golong giling runtuh karena gempa” pakdeku menghela nafas, dan
matanya tampak berbinar-binar air mata.
“beberapa
tahun kemudian tugu jogja ini dibangun lagi oleh londo le, tapi dibuat berbeda di bagian
atasanya tak lagi berbentuk bulat tapi berbentuk keruncut, dan diberi nama De
White Paal atau Tugu Pal Putih, perubahan bentuk bangunan Tugu saat itu le,
sebenarnya merupakan taktik licik londo untuk mengikis persatuan antara rakyat
dan raja, tapi mereka tidak pernah tahu le, yang membuat rakyat jogja bersatu
dengan raja bukan hanya karna tugu ini le, tapi disini le” pakde menunjuk
dadanya
“
di hati ini le, mereka londo-londo itu le tidak akan pernah tau le, karna
mereka tidak punya hati le”
“de,
ayo ke angkringan itu de, ceritanya lanjut distu aja, capek berdiri terus” aku
langsung berjalan ke angkringan ku tinggal pakdeku yang sepertinya masih
bernostalgia dengan sejarah tugu jogja.
“pak
es teh, pak niki seng sambel teri seng pundi nggeh.?”
“niku
mas seng karete abang” langsung kucomot dua sego kucing menu favoritku sambel
teri.
“pak
kopi jos setunggal” pakdeku memesan minumnya dan langsung mengambil dua sego
kucing juga tapi kami beda selera pakdeku memilih kering tempe.
Kami
berdua duduk lesehan di pinggir jalan ditemani semilir angin malam jogja yang
merindukan dan kelap-kelip lampu toko-toko,
kendaraan yang semakin ramai dibandingkan aku berkunjung dulu, semoga saja
jogja tidak menjadi kota metropolitan.
“le
kamu mau cerita masalahmu enggak?” dengan wajah penuh pengertian pakde memulai
percakapan
Aku hanya berani
menggelang tak berani manatap wajahnya
“yaudah
kalu gak mau gak papa, kamu itu sudah tak anggep anak sendiri le kalau ada
masalah apa saja cerita sama pakde gak papa.”
“iya
de” aku hanya mampu berkata itu, itupun dengan lirih.
“kalau
gitu pakde mau cerita bagaimana pakde dapat memperistri mbokde mu dulu, rasanya
pakde belum percaya le pakde bisa memperistri wanita secantik mbokdemu dulu”
wajah pakde tampak berbinar-binar tampak jelas pancaran cinta dari sorot mata
pakde.
Sesekali pakde susrup
kopi josnya, dan melanjutkan ceritanya
“dulu le dimasyarkat kita, dengan siapa kita menikah itu
yang menentukan keluarga besar kita begitu pula dengan pakdemu dulu menikah
dengan mbokdemu itu dijodohkan le, waktu itu pakde juga sudah punya kekasih,
tetangga sebelah sulastri namanya, ya seperti anak muda sekarang, pakde dan
sulastri sudah berjanji untuk selalu bersama, kami berdua sering mencuri-curi
waktu untuk bisa berduaan sampai akhirnya pakde disidang keluarga besar kita,
disuruh memilih keluarga dan menikah dengan mbokdemu itu atau menikah dengan
sulastri tapi tidak dianggak sebagai keluarga besar kita” pakde kembali
mensrusup kopinya.
“terus gimana de, pakde milih siapa” sahutku tak sabar
“akhirnya pakde memilih keluarga le, pakde mau menikah
dengan mbokdemu, pada saat itu rasanya hati pakde hancur le, bagaimana mungkin
pakde bisa hidup sedangkan cinta pakde kepada sulastri itu sehidup semati le,
seminggu kemudian pakde menikah dengan mbokdemu dengan hati yang berantakan”
pakde menghela nafas seakan menghirup semua kenangan pada masa itu.
“kenapa
pakde enggak melawan de” kataku kurang setuju
“nanti kalu kamu sudah tua kamu akan tau arti sebuah
keluarga le, setelah pakde menikah, pakde sering menyakiti hati mbokdemu le,
tapi mbokdemu sangat sabar, tiap malam pakde pergi pulangnya pagi, mbokdemu
sangat sabar mengahadapi pakdemu ini le, sampe lama-lama hati pakde mulai luluh
dan sedikit demi sedikit sudah mulai ada benih-benih cinta di hati pakde sampai
puncaknya waktu pakde sakit seminggu lebih pakde hanya bisa tiduran di ranjang
semua kebutuhan pakdemu dilayani mbokdemu, padahal saat itu tiap berapa jam
pakde muntah-muntah dengan telanten mbokdemu membersihan mutahan pakde, mulai
saat itulah pakde menjadi sangat mencintai mbokdemu le”
“eh pakde terus sulastri gimana de.?” Entahlah tiba-tiba
aku penasaran dengan sulastri.
“sulastri hahaha setahun setelah pernikahan pakde dia
juga menikah dengan pemuda dari desa sebelah, itupun menikahnya karna hamil
duluan le”
pakde kembali
menghembuskan nafasnya tiba-tiba wajahnya menjadi sedih
“pakde masih ingat le saat itu tanggal 19 desember 1948,
mbokdemu izin mau kepasar, beberapa saat kemudian suara gemuruh seperti gempa
bumi, ledakan bom susul menyusul, suara letusan peluru membabi buta tak
berhenti aku berlari kalang kabut mencari mbokdemu, tapi mbokdemu ah tergeletak
di pinggir jalan bersimbah darah, saat itu le aku menjerit-jerit seperti
kesetanan memeluk, mencium mbokdemu yang sudah semakin dingin, hatiku sangat
hancur le. Mulai saat itu pakde bergabung menjadi tentara Indonesia menyerahkan
segenap hati dan jiwa pakde untuk Indonesia le” mata pakde semakin berlinang
air mata.
“le kamu masih ingat nasihat pakde barang siapa yang
mengikhlaskan suatu saat ia akan mendapatkannya, kalaupun tidak ia akan
mendapatkan yang lebih baik dari apa yang dulu ia ikhlaskan, kamu harus ingat
kalimat ini, walaupun memang benar kamu bisa menentukan siapa yang akan menjadi
pacar mu atau istrimu tapi kamu tidak akan bisa menentukan siapa yang kamu
cinta, tapi kalu memang orang yang kamu cintai sekarang itu jodohmu cinta akan
menemukan jalannya sendiri”
“de ayo pulang sudah malam” ajakku kepada pakde aku
kasihan melihat pakde yang terlihat semakin sedih.
Keesok harinya
“de aku pamit dulu ya doakan aku menang di perlombaan
panahan de”
“iyo le do’a ku selalu menyertaimu le, hati-hati dijalan”
kupeluk pakde sebelum aku memasuki kereta.
Aku
pulang dengan semangat baru, dengan pemahaman cinta yang baru dan harapan yang
baru.
Tiap
hari aku berlatih panahan, sampai-sampai aku dianggap gila latian, ya aku
ikhlas karena latihanku ini tidak hanya untuk diriku saja tetapi juga untuk
membanggakan Indonesia dimata dunia. Sebenarnya cintaku kepada dhina masih sama
cuma kali ini bisa aku arahkan untuk penyemangatku.
Semakin
hari hasil latianku semakin baik, pelatihku,teman-temanku, dan aku semakin optimis
pula bisa memenangkan perlombaan itu.
Senin
pagi sesudah upacara perpisahan untuk melepas keberangkatan kami yang akan
mengikuti lomba.
“hai
dwi…” aku tau itu dhina selain suaranya yang memang sangat akrab di hatiku,
orang yang memanggilku dengan nama dwi hanya keluargaku dan dhina.
“hati-hati dijalan ya semoga menang, jangan lupa
oleh-olehnya” katanya sambil menjabat tanganku, sedangkan aku ya seperti biasa
masih saja terpukau akan kecantikannya. Ah bagaimana mungkin aku bisa
mengikhlaskannya jika setiap ku tatap matanya seakan aku tersedot kedalamnya
dan melayang-layang diruang hampa dan selalu saja kembali jatuh cinta
kepadanya”
“iya dhi makasih, kamu baik-baik ya disini” aku tak
berani menatap matanya
“tenang ada pacarku yang jagain aku kok, makanya kamu
buruan cari pacar gih, biar ada yang ngerawat kamu, eh sudah dulu ya aku sudah
ditunggu pacarku daaa” sambil berlari-lari kecil meninggalkanku,bagaimana
mungkin aku cari pacar dhi, kalau hatiku saja kamu bawa pergi
Malam
sebelum pertandingan aku sudah berjanji akan bejuang sekuat yang aku bisa bukan
hanya untuk diriku tetapi untuk negeriku untuk Negara ku Indonesia
Tring
tring… tanda ada pesan masuk dihandphone ku berbunyi ah siapa sih sudah
malam-malam mau tidur ganggu aja, tertulis dilayar hpku dhina langsung
kukucek-kucek mataku untuk menghilangkan kantuk ada apa nih jarang-jarang dhina
sms duluan biasanya juga aku yang sms duluan
“dwi aku tak tau lagi harus
bercerita kepada siapa lagi saat ini hanya dirimu yang ada dipikiranku saat ini,
maaf selama ini kalau aku menyakitimu, aku tahu kamu mencintaiku, dan bodohnya
aku tak bisa mencintai pria sebaik dirimu, aku selalu mencintai pria yang salah, seperti yang kali
ini dia yang selalu ku banggakan padamu benar-benar membuatku terluka dan aku akan pergi untuk selamanya…bye dwi aku yakin kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih
baik dari aku, semoga menang…”
Ada yang hilang dari
dalam hatiku
Hampa semua terasa kosong
Tak ada bahagia tak ada
kesedihan hambar tanpa rasa
Waktupun berhenti sunyi
senyap
Yang ada hanya hitam
Sekalian saja kenapa tak
Kau cabut saja nyawaku?
Tak perlu lagikan aku
cerikan hasil perlombaan panahanya, sudah jelas, bagaimana aku mungkin bisa
memenangkan perlombaanya kalau tubuhku pun rasanya bukan milikku lagi. Selesai
perlombaan aku langsung menelepon pakdeku
“halo dwi ada apa?”
“pakde
aku kalah, tidak hanya dalam perlombaanya tapi juga aku belum bisa ikhlas”
Hening….
“tidak
le, kamu sudah berjuang, sebaik-baiknya berjuang…”(15.02 Yogyakarta, 02 mei
2015)
0 comments:
Post a Comment